“Maya...” panggil Tyas kesekian kalinya. “Disapa Rama kok diem aja?” tanyanya sambil memandangi Maya yang bengong.
“Oh, yang tadi itu Rama ya?” tanyanya balik sambil memandang sosok yang telah jauh berjalan.
Samar-samar ingatan Maya kembali ke beberapa detik sebelumnya. Saat mereka sedang duduk di depan ruang dosen, menunggu bapak-ibu dosen pembimbing, seorang laki-laki berbadan kurus, tinggi normalnya cowok Indonesia, berkacamata, mengenakan jaket hitam dan tas ransel lewat di hadapan mereka. Dan dia tersenyum.
“Hai Maya, Tyas” sapanya pada dua dara yang sedang asik mengobrol.
Senyuman yang ramah mengembang. Lesung pipinya benar-benar manis. Dan sayang sekali Maya telat merespon kejadian beberapa detik itu. Dia hanya bengong terpesona, hingga yang bersangkutan menghilang ditengah kerumunan manusia.
“Kamu kenapa sih. Kalian dulu satu SMA kan? Kok diem-dieman gitu?” tanya Tyas heran dengan sikap sohibnya itu. Jarang sekali dia mendapati Rama dan Maya berbicara santai layaknya teman satu SMA. Pertanyaan Tyas itu ditanggapi Maya dengan senyuman pahit. Bagaimana bisa dia ngobrol santai dengan orang itu. Setiap ketemu saja jantungnya berdebar luar biasa kencang seolah lari maraton. Setiap berdekatan dengan orang itu, keringat Maya membanjir seperti Bengawan Solo. Setiap melihat senyum dari orang itu, dia berasa mimpi dan tidak ingin bangun lagi. Karena itu Maya membatasi interaksi dengan Rama. Dia takut perasaannya akan ketahuan.
Whats’s? Hari gini, masih malu ngungkapin perasaan? 2011 gitu lho... Yupz. Itulah Maya. Siswi jurusan FKIP Bahasa Indonesia. Tingginya rata-rata, kulit sawo matang, tampang standar, rambut lurus sebahu, berkacamata minus ¼, hobi baca; komik, novel, koran, nyampe bungkus makanan. Entah kenapa dia agak gimana dengan makluk adam, sampai dikira alergi cowok. Padahal jauh di hati kecilnya. Jauuuuh...banget, ada Rama yang menghiasi.
****
Pagi yang indah. Langit biru, matahari bersinar cerah, burung berkicau riang dan...
JEGLERRRRRRR........
Petir menyambar diatas kepala Maya. Gadis itu menatap nanar pengumuman jadwal presentasi yang tertempel di pintu kelas. Dari sekian kelompok dia masuk di kelompok lima dan di antara deretan nama anggota; Wahyu Kusuma, Arini, Maya Karmila dan Rama Pratama. Kepala Maya serasa berkunang-kunang menemukan nama itu, Rama Pratama, satu kelompok dengannya.
“Wah, May, kita satu kelompok ya?” sebuah suara yang dikenalnya. May adalah panggilan Rama pada Maya. Maya sendiri tidak sadar sejak kapan Rama memanggilnya begitu. Maya pun memutar kepala dan menemukan senyuman ramah Rama dan lesung pipi manisnya. Oh, God, sepertinya arwah Maya terbang ke luar angkasa.
“Ah, ya” akhirnya Maya bersuara, lengkap dengan senyum keki; campuran antara kaget, senang, seram dan grogi. Ini sebuah keberuntungan atau kesialan ya?
“Mau dibahas kapan?”
“Terserah”
“Hari minggu bisa?” tayanya sambil membuka agenda. Orang ini memang makluk super sibuk. Selain sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusan juga aktif dalam berbagai kegiatan amal diluar kampus. Itu salah satu poin yang membuat Maya terpesona, kesadaran sosial yang tinggi.
“Boleh” jawabnya asal-asalan. Maya pun memilih tetap memandangi daftar nama di pintu daripada menikmati wajah Rama yang kata teman-temannya mirip Hritik Rosan. Tapi dia nggak suka nyanyi India apalagi joged seperti Briptu Norman lho...
“Masih kursus bahasa Jepang?” tanyanya mengalihkan perhatian, memaksa Maya untuk kembali memandang laki-laki itu.
“Udah enggak” jawabnya sambil garuk-garuk pipi dengan jari telunjuknya, memperlihatkan kukunya yang di cat hitam (Maya memang tergila-gila dengan hal berbau gothic). Kebiasaan Maya, kalau bingung atau merasa bersalah.
“Kenapa? Padahal kan asik kalau bisa bahasa Jepang. Aku sih tahunya Kagebunshin no jutsu” ucapnya sambil tertawa. Ya, Rama memang penggemar beratnya Naruto, semenjak si Naruto belum dikenal sampai tenar. Pernyataan itu lagi-lagi dibalas dengan senyuman canggung oleh Maya, malu juga mengakui kalau dia juga maniak Naruto.
“Nggak, kursusnya mahal. Lagian jadwal kuliah makin padat jadi nggak ada waktu” jawab gadis itu kemudian. Ditanggapi dengan anggukan oleh laki-laki itu.
“Oh ya, aku duluan ya” ucap laki-laki itu sebelum berlalu meninggalkan Maya terbengong di tengah samudra keheranan. Jarang-jarang kesempatan ini datang. Mereka sudah enam bulan tidak saling bicara stelah insiden ‘bodoh’ yang dilakukan Maya sebelumnya. Maya memberikan sebuah novel karya Ilana Tan, Winter in Tokyo, pada Rama namun karena grogi kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu berantakan luar biasa dan pada akhirnya dia buru-buru kabur menyelamatkan diri.
“May” laki-laki itu berbalik arah dengan senyum mengembang. “Winter in Tokyo-nya bagus”
“Ya” hanya kata itu yang keluar dari bibir Maya yang serasa kembali terbang menembus mega ke luar angkasa dengan naik angsa milik dewa Brahma.
****
“Boku wa michi wo nakushi, kotoba suranaku shitte shimau. Dakedo hitotsu dake wa.... Nokotteta nokotteta, kimo mo koega...” gumam seorang gadis yang duduk di bawah sebuah pohon sambil mendengarkan mp3 dari ponselnya dan membaca sebuah komik. Bajunya sama sekali nggak matching; kemeja merah, rok tosca, jaket abu-abu, sendal jepit kuning, Harajuku style kilahnya. Tapi sebenarnya karena dia lagi males setrika aja. Rambutnya di jepit serampangan, membuat helaian rambut yang terlepas menari-nari tertiup angin sepoi siang itu.
“Warau kao mo okaru kao mo subete, boku wo arukaseru. Kumo ga kireta sakiwo mitara Uhukh...” gadis tiba-tiba tersedak.
“Lagunya bagus” ucap seorang pemuda yang telah duduk di samping gadis itu. “Judulnya apa, May”
“Oh, eh, Rama” Maya pun meneguk susu kotak untuk membasahi kerongkongannya. “Yang tadi judulnya To You All, ost Naruto Shippuden”
“Artinya apa?”
GUBRAK...
“Hah? Artinya? Uummm” mata gadis itu blingsatan, lalu berpikir sejenak. “Ummm, tentang seseorang yang tersesat tapi terus berjuang untuk mencari jalan pulang, karena ada seseorang yang membayanginya. Yang menjadi semangat untuknya. Daiji na hito ga iru. Seseorang yang penting” ucapnya memandang birunya langit awal musim panas.
“Wah, bahasa jepangmu keren” puji Rama.
“Mbah Google kok yang keren” balasnya. Maya memang hobi surfing di internet dan searching berbagai info tentang komik, anime atau pun lagu Jpop yang baru. Rama sebenarnya tidak jauh beda, karena dia maniak game online. Hanya tidak saling mengetahui saja.
“Sorry telat” ucap dua orang yang baru muncul. Arini dan Wahyu. Percakapan itu pun beralih ke tugas kuliah yang harus mereka prsesentasikan.
****
Tatapan laki-laki berkacamata itu tak lepas dari seorang gadis yang baru tiba dan segera duduk di kursi depan. Dia meminum susu kotak sambil membaca majalah Story dan sesekali berbincang dengan Tyas, sahabatnya. Rambut sebahunya hari ini dibuat kriting spiral dengan beberapa jepit sederhana. Dia terlihat manis meskipun tetap berkesan jutek seperti biasanya.
“May” sapanya. Namun ekspresi gadis itu seolah berkata “enyahlah kau dari sini” meskipun disertai sebuah senyuman canggung. “Ini copiannya” diserahkannya beberapa lembar kertas pada gadis itu.
“Thanks ya Rama” ucapnya, kali ini dengan senyuman manis yang pas, membuat jantung pemuda itu tiba-tiba deg-degan. Jarang sekali Rama mendapatkan senyum seperti itu dari Maya, senyum yang biasanya hanya muncul saat dia bersama teman-teman ceweknya. Senyum lepas yang manis dan ringan, seperti manisnya permen lemon favoritnya.
Rama segera kembali ke kursinya tepat saat dosen memasuki ruangan dan kembali memperhatikan gadis itu yang mengemasi barangnya dan menyiapkan materi presentasi.
****
“Hoeh.... selamat...” gumam Maya setelah keluar kelas dan melewati presentasi yang panas, sepanas cuaca siang itu dan memaksanya menyembunyikan wajah dibalik map.
“Pertanyaannya banyak yang nggak nyambung” komentar Tyas yang berjalan di sampingnya. ”Eh, tunggu bentar. Aku mau ke toilet dulu” ucap Tyas yang segera menghilang ke toilet.
“Thanks ya May, udah di jawab tadi pertanyaannya” ucap Rama yang ternyata sejak tadi berjalan di belakangnya. Dalam presentasi kali ini Maya bertugas sebagai sumber informasi yang menjawab pertanyaan masuk dan tentu saja dengan bantuan dari teman-temannya juga.
“Iya” ucapnya manggut-manggut menahan kepalanya yang berkunang-kunang, bukan hanya karena panas tetapi karena belajar hingga larut malam. Di pandanginya punggung laki-laki yang menuruni tangga.
“Eh, May” lagi-lagi dia mengehentikan langkahnya dan berbalik pada Maya yang masih berdiri di dekat tangga di lantai empat, menunggu Tyas. “Bahasa Jepangnya selamat tinggal apa?” tanyanya dengan senyum penuh harap.
“Oh, itu, sa....” belum selesai kata-kata Maya telah terpotong.
“Watashi wa anata ga suki desu, kan?” katanya dengan keyakinan 100% yang membuat Maya terbengong heran.
“Eh, itu...”
“Iya, bener kan?” katanya ngotot, membuat Maya semakin bingung. “May, watashi wa anata ga suki desu” ucapnya kemudian.
“Eh?” Maya menanggapinya dengan dahi berkerut, tidak mengerti.
“Watashi wa anata ga suki desu”ulanganya.
“Apa?” Maya menggaruk-garuk pipinya dengan jari telunjuk, merasa ada yang tidak beres. Rama pasti salah mengartikan kata-kata itu sebagai sayonara. Apa sebegitu tidak mengertinya bahasa Jepang sampai seperti itu. Tapi dia kan suka baca komik, mustahil tidak tahu sekedar kata ‘sayonara’. Mungkinkah?
“Watashi wa anata ga suki desu” ulangnya kembali. “Jawabannya apa?” tanya laki-laki itu tidak sabar.
“Watashi wa...” Kata-kata Maya terputus. Dia menelan ludah dan, “Suki dayo” akhirnya kata itu meluncur dari bibirnya di sertai dengan gemuruh hebat yang menyerang dadanya hingga membuat tangannya gemetar dan tubuhnya lemas.
Sebuah senyum kembali terlukis di bibir laki-laki itu bersamaan dengan lesung pipi yang muncul di pipi kirinya. Benar-benar manis. Hanya itu yang ada dalam pikiran Maya yang masih terbengong bahkan saat Rama meletakkan sebuah komik serial cantik berjudul ‘Be My Lady’ ditangannya.
Sumber : Pulpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar